21.2.11

LANDASAN ILMIAH DAN PARADIGMA BARU TENTANG PSIKOLOGI KOMUNIKASI

LANDASAN ILMIAH DAN PARADIGMA BARU TENTANG PSIKOLOGI KOMUNIKASI

Oleh : Nursyamsu

A. Landasan Ilmiah Psikologi Komunikasi

Dalam konsep ilmu Komunikasi, keterkaitan psikologi memang tidak bisa ditinggalkan. Bahkan para Bapak Komunikasi tiga diantaranya adalah pakar psikologi, Kurt Lewin, Paul Lazarzfeld dan Carl I Hovland. Meskipun demikian, komunikasi bukanlah subdisiplin psikologi. Komunikasi sebagai sebuah ilmu tersendiri memang menembus banyak disiplin ilmu.

Bagaimanapun komunikasi merupakan bagian yang essensial buat pertumbuhan kepribadian manusia seperti disebutkan oleh Ashley Montagu. Dan komunikasi amat erat kaitannya dengan perilaku dan pengalaman kesadaran manusia. Karenanya komunikasi selalu menarik minat psikolog. Dalam psikologi komunikasi mempunyai makna yang sangat luas, meliputi segala penyampaian energi, gelombang suara, tanda diantara tempat, sistem atau organisme. Kata komunikasi sendiri dipergunakan sebagai proses, sebagai pesan, sebagai pengaruh atau secara khusus sebagai pesan pasien dalam psikoterapi. Jadi psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguaraikan, meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi. Peristiwa mental adalah internal mediation of stimuli sebagai akibat berlangsungnya komunikasi (Fisher) Sementara peristiwa behavioral adalah apa yang nampak ketika orang berkomunikasi.

Komunikasi adalah sebuah peristiwa sosial –peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain, dan mencoba menganalisa peristiwa soail secara psikologis membawa kita pada psikologi sosial. Karena itu pendekatan psikologi sosial adalah juga pendekatan psikologi komunikasi.


a) Lingkup Psikologi Komunikasi

Psikologi komunikasi berkaitan dengan bagaimana mencapai komunikasi yang efektif dalam interaksi manusia. Untuk itu maka memahami manusia memang menjadi kemutlakan jika kita ingin berhasil/efektif dalam berkomunikasi dengan manusia lain.

a) Karakteristik Komunikasi

1. Ciri khas proses komunikasi :

ü Komunikasi itu proses yang dinamis.

ü Komunikasi itu tak bisa diulang atau diubah

2. Fungsi Komunikasi

ü Memahami diri sendiri dan orang lain

ü Memapankan hubungan yang bermakna

ü Mengubah sikap perilaku

b) Lima Aksioma Komunikasi

1. Aksioma satu : Anda tidak dapat tidak berkomunikas

2. Aksioma dua : Setiap interaksi memiliki dimensi isi dan hubungan

3. Aksioma tiga : Setiap interaksi diartikan oleh bagaimana para pelaku interaksi menjelaskan kejadian

4. Aksioma empat : Pesan itu bersifat digital dan analog

5. Aksioma lima : Pertukaran komunikasi bersifat simetrik dan komplementer

b) Teori Psikologi Tentang Manusia

Karena psikologi komunikasi berkaitan dengan bagaimana mencapai komunikasi yang efektif dalam interaksi manusia maka menjadi penting untuk diketahui tentang manusia itu sendiri. Setiap manusia mengandung misteri kehidupannya masing-masing. Untuk itu, keempat teori psikologi tentang manusia menjadi penting.

a. Psikoanalisis
Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis memfokuskan perhatian kepada totalias kepribadian manusia, bukan pada bagian-bagiannya yang terpisah. Menurutnya, perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia Id, Ego, dan Superego. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan biologis manusia –pusat instink (hawa nafsu) yaitu :

1. libido yaitu instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif (bhs. lain eros yaitu tidak sekadar dorongan seksual tapi juga segala hal yang mendatangkan kenikmatan seperti kasih ibu, pemujaan pada Tuhan dan cinta diri)

2. thanatos yaitu instink destruktif dan agresif Ego adalah jembatan tuntutan Id dengan realitas dunia luar, sebagai mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Sementara superego adalah hati nurani yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya. Ia memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak berlainan ke alam bawah sadar.

b. Behaviorisme
Lahir sebagai reaksi terhadap instropeksionisme (yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subjektif) dan juga psikoanalisis. Behaviorisme hanya ingin menganalisa perilaku yang tampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Karenanya sering disebut sebagai teori Belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Ia tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional, tapi hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Dari sini muncul istilah homo mechanicus.

c. Kognitivisme
Disini muncul paradigma baru bahwa manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungan tapi sebagai makhluk selalu memahami lingkungannya, makhluk yang selalu berpikir (homo sapiens). Sebagai contoh, apakah penginderaan kita melalui pengalaman langsung, sanggup memberikan kebenaran. Kemampuan alat indera kita dipertanyakan karena seringkali gagal menyajikan informasi yang akurat.
Rasionalisme ini tampak jelas pada aliran Gestalt, manusia tidak memberikan respon kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan.

d. Humanisme
Dari teori sebelumnya baik behaviorisme yang menyatakan manusia hanyalah mensin yang dibentuk oleh lingkungan dan psikoanalisis yang menyatakan manusia melulu dipengaruhi oleh naluri primitifnya, keduanya tidak menghormati manusia sebagai manusia. Keduanya tidak menjelaskan aspek eksistensi manusia yang positif dan menentukan, seperti cinta, kreatifitas, nilai dan makna serta pertumbuhan pribadi. Inilah yang diisi oleh psikologi humanistik.

Psikologi Humanisme ini mengambil banyak dari psikoanalisis NeoFreudian (sebenarnya Anti-Freudian) tetapi lebih banyak menhambil dari fenomonologi dan eksistensialisme. Hal lain yang membedakan adalah perhatian terhadap makna kehidupan. Manusia bukan saja seorang pelakon dalam panggung masyarakat, bukan saja pencari identitas, tetapi juga pencari makna.

c) Faktor-Faktor Personal Yang Mempengaruhi Perilaku Manusia

1. Faktor biologi.

2. Faktor sosiopsikologis

3. Motif sosiogenis seperti motif ingin tahu, motif kompetensi, motif cinta, motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas, kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna kehidupan dan terakhir motif akan pemenuhan diri

4. Sikap

5. Emosi

6. Kepercayaan

7. Kebiasaan

8. Kemauan

d) Faktor-Faktor Situasional Yang Mempengaruhi Perilaku Manusia

1. Faktor ekologis

2. Faktor rancangan dan arsitektural

3. Faktor temporal

4. Suasana perilaku

5. Teknologi

6. Faktor-faktor social

7. Lingkungan psikososial

8. Stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku


B. Paradigma Baru Psikologi Komunikasi

1. 1. Multi Paradigma

Komunikasi yang multi makna dan multi definisi telah menyuguhkan cara pandang (frame) yang beragam pula, terutama dalam mengkopseptualisasaikan komunikasi sebagai suatu di siplin ilmu yang bersifat eklektif (menggabungkan beberapa disiplin). Sifat eklektif ini telah di lukiskan oleh Wilburn Scramm[1] sebagai jalan simpang yang paling ramai dengan segala disiplin yang melintasinya. Sejak semula para pakar acapkali mengkaji komunikasi manusia dengan menggunakan (secara terang-terangan) konsep, teori dan model ilmu fisika, psikologi dan sosiologi, sejarah, bahasa, dan sebagainya. Tidak mengherankan bila hingga saat ini masih banyak kalangan luar yang meragukan komunikasi sebagai disiplin ilmu sendiri. Bahkan ada dari kalangan psikologi atau sosiologi yang masih merasa komunikasi manusia sebagai bagian dari disiplinnya. Mereka kurang memahami bahwa kajian komunikasi memang telah meminjam dari berbagai disiplin dan telah meracik dan mengolahnya sendiri menjadi suatu konsep atau teori sehingga sangat bersifat eklektif.

Dalam perkembangannya sebagai suatu bidang kajian yang eklektif, pengaruh disiplin lain terhadap ilmu komunikasi, terutama ilmu fisika, psikologi dan sosiologi memang sangat besar dan sangat terasa. Hal ini sekaligus telah melahirkan berbagai pendekatan dan wawasan yang saling berbeda baik dalam merumuskan definisi komunikasi maupun dalam penelitian atau pengkajian empirik. Perbedaan-perbedaan itu pada akhirnya menumbuhkan dua hal yang sangat penting sebagai suatu fakta, yaitu lahirnya fraksi-fraksi di kalangan ilmuwan komunikasi dan lahirnya berbagai paradigma atau perspektif dalam kajian komunikasi manusia.

Tak dapat di sangkal bahwa para pakar ilmu komunikasi bukanlah kelompok yang bersatu pandangan dan wawasan mengenai konseptualisasi komunikasi sebagai suatu di siplin ilmiyah. Artinya para pakar menghargai adanya perbedaan wawasan dan perbedaan paradigma atau perspektif yang satu dengan lainnya. Para pakar komunikasi merupakan kelompok yang mempunyai ikatan yang sangat “longgar”, dan malah di dalamnya terdapat fraksi-fraksi dengan paradigma masing-masing. Itulah serbabnya Feyerabend (1975) menyebut komunikasi sebagai ilmu yang di tandai oleh paradigma yang multi muka. Multi paradigma seperti ini, bukanlah hal yang khas komunikasi, karena hampir seluruh disiplin dalam ilmu sosial, berparadigma ganda. Hal ini bukanlah suatu hal yang perlu di sesalkan, tetapi sebaliknya merupakan kekuatan ilmu sosial yang membedakannya dengan ilmu alam.

Istilah paradigma berasal dari Thomas kuhn (1970, 1974), yang di gunakan tidak kurang dari 21 cara yang berbeda. Namun Robert Fredrichs (1970) berhasil merumuskan paradigma itu secara jelas sebagai suatu pandanagn mendasar dari suatu disiplin ilmu teantang apa yang menjadi pokok persoalan (subyek matter) yang semestinya dipelajari. Kuhn melihat bahawa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif, tetapi terjadi secara revolutif. Dalam masa tertentu ilmu sosial di dominasi oleh suatu paradigma. Kemudian terjadi pergantian dominasi paradigma, dari paradigma lama yang memudar kepada paradigma baru. Dalam hal ini paradigma baru bukanlah kelanjutan dari paradigma lama. Sosiologi misalnya dalam perkembangannya memiliki tiga paradigma yang berbeda satu dengan yang lain, yaitu paradigma (1) fakta sosial, (2) definisi sosial dan (3) perilaku sosial.

Ditempat berbeda Guba menjelaskan paradigma sebagai “…a set of basic belief (or metaphysic) that diels with ultimits or first principle …a world view that defines, for its holder, at the nature of the world. Oleh karena itu paradigma berperan vital dalam melihat setiap kajian atau penelitian. Sebab hal ini berkaitan dengan aspek filosofis dalam melihat kompleksitas fenomena.

Dilihat dari beberapa paradigma yang selama ini berkembang AS. Hikam menjelaskan perjalanan paradigma dibagi menjadi tiga bagian; pertama, Paradigma Positivisme-empiris oleh penganut aliran ini bahasa dipandang sebagai jembatan antara manusia dengan obyek diluar dirinya. Salah satu ciri dari paradigma ini adalah pemisahan antara pemikiran dengan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana konsekuensi logis dari pemikiran ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subyektif atau nilai yang mendasari pernyataannya sebab yang terpenting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik.

Kedua adalah paradigma Konstruktivisme. Paradigma ini banyak dipengaruhi oleh pandangan fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan empirisme yang memisahkan subyek dan obyek bahasa. Dalam pandangan paradigma ini bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas obyektif belaka dan yang dipisahkan dari subyek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subyek sebagi faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Ketiga adalah Paradigma Kritis. Paradigma ini hanya sebatas memenuhi kekurangan yang ada dalam paradigma konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis AS. Hikam paradigma Konstruktivisme masih belum menganalisa faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana yang pada gilirannya berperan sebagai pembentuk jenis-jenis subyek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Paradigma ini bersumber pada pemikiran Frankfurt School, yang berusaha mengkritisi pandangan konstruktivis. Ia bersumber dari gagasan Marx dan Hegel jauh sebelum sekolah Frankfurt berdiri.

2. Paradigma Lama Dan Paradigma Baru

Sebagaimana tesis Kuhn (1970,1974) di atas bahwa ilmu tidak berkembang secara kumulatif melainkan secara revolutif, maka ilmu Komunikasi mengalami hal serupa. Sejak awal perkembangannya hingga tahun 1970-an ilmu komunikasi di dominasi oleh paradigma tertentu yang kemudian digeser secara pasti oleh paradigma lain. Terkait hal ini penulis mencatat dua paradigma yang dapat di sebut sebagai paradigma lama dan paradigma baru.

B. Aubrey fisher seorang pakar komunikasi yang terkenal dalam dekade terakhir, telah berhasil mencatat adanya beberapa paradigma yang berkembang pada beberapa dekade terakhir ini dalam ilmu komunikasi sesuai judul buku perspective on human communication. Yang terbit untuk kali pertama pada tahun 1978, Fisher tidak menggunakan istilah paradigma melainkan ‘persperktif’, karena menurutnya istilah paradigma dari Kuhn itu telah di tafsirkan secara berlain-lainan sehingga mencegah penggunaannya yang netral. Namun apa yang dimaksud dengan paradigma itu kurang lebih sama dengan perspektif. Fisher mengakui bahwa perspektif dalam arti pandangan yang realistis tidak mungkin lengkap, sebab dari sebagaian fenomena yang sedang di lihat itu hilang dan yang lainnya mengalami distorsi. Namun itulah hakekat perspektif, justru itu perspektif boleh di artikan sebagai pendekatan, strategi intelektual kerangka konseptual dan paradigma. Dalam hal ini ia merangkum kajian komunikasi selama ini ke dalam empat perspektif yang penting yaitu; perspektif mekanistis, psikologi, interaksional dan pragmatis.

Adanya ke empat perspektif itu telah menunjukkan bahwa komunikasi sebagai suatu kajian di warnai oleh multi paradigma. Hal ini membawa konsekwensi yang multi ragam pula pada metode pengkajian (peneltian) bagi komunikasi. Artinya metode penelitian komunikasi tidak hanya eksperimental, tetapi boleh juga historis, kontekstual, eksploratif, fenomenologis, diskriptif dan sebagainya. Demikian pula boleh kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini tergantung pada perspektif yang dipakai. Justru itu mengkaji komunikasi harus konsisten antara perspektif yang di anut dengan metode penelitian yang di pakai. Dengan demikian perspektif atau paradigma yang ada dalam komunikasi itu perlu dipahami dengan baik.

Pada dasarnya perbedaan antara perspektif yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah di buat oleh Fisher pada dasarnya adalah perbedaan dalam menkonseptualisasaikan komunikasi. Perspektif mekanistis yang berkembang sebagai pengaruh fisika, menkonseptualisasi komunikasi sebagai proses yang mekanistis antara manusia. Sebagai proses mekanis maka dalam komunikasi terdapat suatu pesan mengalir melintas ruang dan waktu dari satu titik (sumber/penerima) kepada titik yang lain (sumber/penerima) secara simultan. Eksistensi empiriknya (lokusnya) terletak atau berada pada saluran.


Komponen komponen dalam model mekanistis itu sangat jelas yaitu sumber/penerima, saluran dan pesan/umpan balik/efek. Sesuai dengan doktrin mekanisme (idealisme mekanistis) yang berdasarkan cara berfikir sebab akibat, maka titik berat kajian pada efek. Hal ini tercermin dalam kajian mengenai persuasi, efek media massa, difusi (komunikasi pembangunan) dan jaringan komunikasi, yang seluruhnya menggunakan metode eksperimental dan kuantitatif. Model mekanistis ini sudah tidak asing bagi orang kebanyakan, karena selain telah menghasilkan banyak studi, juga tidak terlalu sulit di pahami. Model ini merupakan model lama atau model klasik dalam studi komunikasi.

Sebaliknya baik dalam perspektif psikologis, maupun dalam perspektif interaksional dan pragmatis, komunikasi tidak di konseptualisasikan sebagai proses mekanistis seperti di atas sehingga komponen mekanistis seperti pesan/umpan balik/efek, saluran, sumber/penerima tidaklah begitu penting. Justru itu perspektif dapat di sebut sebagai persepektif atau paradigma baru (kontemporer), sebab selain baru tumbuh dan berkembang,, juga karena sangat berbeda dengan perspektif mekanistis yang sudah ada sejak lama. Menurut Fisher para penganut dari paradigma baru ini adalah pemberontak-pemberontak dalam study ilmu komunikasi, dan revolusi yang di gerakkannya masih sedang berlangsung. Hal ini terutama di sebabkan karena dalam memahami paradigma baru ini diperlukan perubahan, dan bahkan penjungkirbalikan (revolusi) cara berpikir mekanistis dalam komunikasi manusia.

Dalam perspektif psikologi, komunikasi dikonseptualisasi atau dipahami sebagai proses dan mekanisme internal penerimaan dan pengolahan informasi pada diri manusia. Justru itu eksistensi empiriknya (lokusnya) terletak pada diri manusia (bukan pada saluran sebagaimana pada model mekanistis), yaitu pada “kepala” indifidu yang di namakan filter konseptual (seperti sikap, persepsi, keyakinan dan keinginan”. Itulah sebabnya komponennya bukan lagi sumber/penerima, saluran, pesan/umpan balik efek, melainkan stimulus dan respons, dengan fokus kajian pada individu (penerima). Hal imi terlihat pada berbagai studi mengenai persuasi dan perubahan sikap, komunikasi organisasional, dan komunikasi kelompok. Metodologi yang di gunakan pada umumnya eksprimental dan kuantitatif. Hal ini dapat dipahami karena kajian dan pengembangan paradigma ini, adalah merupakan pengaruh dari psikologi terutama psikologi sosial.

3. 3. Paradigma Mekanistis

Model mekanistis telah mengalami perkembangan yang tidak saja menarik akan tetapi juga telah membesarkan ilmu komunikasi. Paradigma atau perspektif dari model mekanistis dalam komunikasi adalah yang paling lama dan paling banyak dan paling luas dianut sampai sekarang. Banyak study yang telah di lakukan dan banyak buku yang telah di terbitkan sehingga pengaruhnya sangat kuat dan meluas, bukan saja di kalangan masyarakat akademik, tetapi juga di kalangan masyarakat luas.

Meskipun paradigma ini telah memudar dikalangan pakar ilmu komunikasi, dan telah timbul kekecewaan terhadap hasil study yang dahulunya populer, namun di Indonesian kepercayaan terhadap model ini masih cukup kuat. Di samping itu paradigma ini telah berkembang jauh, baik secara maupun revolusi melalui pergumulan yang seru dari pendekar-pendekarnya. Hal ini terlihat dari banyaknya teori dan model yang beragam dari perspektif ini. Justru itu model ini masih tetap penting sebagai bahan studi dalam komunikasi. Dasar berpikir penganut mekanistis perlu di pahami, karena paradigma baru yang berkembang kemudian sangat bertentangan dengan cara berfikir ini.


Daftar Pustaka

http://abdulsalamserbakomunikasi.blogspot.com/2010/03/menelusuri-landasan-ilmiah-komunikasi_07.html

http://unisankomunikasi-3.blogspot.com/2009/10/mengenal-psikologi-komunikasi.html

Gud Reacht Hayat Padje, Komunikasi Kontemporer (Startegi, Konsepsi, dan Sejarah) Universitas Negeri NTT Kupang tahun 2008




Followers

My Ads

Donasi

Kisah Sukses

 

Copyright © 2009 by Tech E-learning Center

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger

Back To Top
Powered by Olark